PAMERAN LUKISAN AKARA MENUANGKAN GAGASAN SOEKARNO DIATAS KANVAS OLEH 78 SENIMAN

 

YOGYAKARTA — Bulan Juni menjadi bulan bersejarah untuk mengenang sosok proklamator, Soekarno. Karena itulah, 78 perupa Yogyakarta bersama-sama akan menyuguhkan karya-karya mereka dalam pameran lukisan Akara pada tanggal 1-21 Juni 2021 di Hall Kantor Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Yogyakarta.


Pameran ini bertajuk Akara, yang artinya wujud atau rupa, sebuah kata yang diambil dari bahasa Sanskerta. Harapannya, pameran ini bisa menginspirasi puluhan seniman di Yogyakarta untuk melahirkan kembali gagasan-gagasan Soekarno di atas kanvas sesuai dengan cara pandang masing-masing.


Sebanyak 78 seniman yang terlibat dalam pameran ini bukan lagi tokoh baru di panggung seni rupa. Beberapa di antara mereka merupakan seniman-seniman kawakan, seperti Butet Kartaredjasa, Ong Hari Wahyu, Bambang Herras, Budi Ubrux, Bunga Jeruk, Agung Pekik, Laksmi Shitaresmi, Nasirun, Ugo Untoro, Putu Sutawijaya, dan Hadi Soesanto.


Bulan Juni menjadi salah satu bulan bersejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia melalui jejak langkah Soekarno. Pada 6 Juni 1901, Soekarno lahir dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Pada 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan gagasannya dalam sidang BPUPKI (Dokuritzu Zyubi Tyoosakai) tentang dasar (philosophische grondslag), arah, tujuan (leitstar), sekaligus pandangan hidup (weltanschauung) berbangsa dan bernegara. Pada bulan Juni juga, tepatnya 21 Juni 1970, Soekarno meninggal dalam usia 69 tahun.


Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah PDI-P Daerah Istimewa Yogyakarta GM Totok Hedi Santosa selaku inisiator pameran lukisan Akara, Sabtu (13/2/2021), di Yogyakarta, mengatakan, banyak hal yang bisa dipetik dari pemikiran Soekarno. Pendiri bangsa itu menyaksikan penderitaan rakyat karena kolonialisme dan ancaman imperialisme bangsa asing ataupun bangsa sendiri. Belum lagi persoalan buruh yang tersingkir karena modernisasi, rakyat marhaen dengan lahan sempit, rakyat buta huruf sehingga mudah dibohongi, serta fragmentasi masyarakat karena pandangan yang berbeda.


Namun, pada saat yang sama, ia juga melihat modal besar bangsa Indonesia, baik dari alam maupun sifat gotong royong.


”Namun, pada saat yang sama, ia juga melihat modal besar bangsa Indonesia, baik dari alam maupun sifat gotong royong,” ucapnya.


Penulis autobiografi Soekarno, Cindy Adams, mengungkapkan, semasa menjalani pengasingan di Ende, Nusa Tenggara Timur, pada 1934-1938,  kreativitas Soekarno muncul, jiwa seninya membuncah.  Selain menyusun naskah drama, dia juga melukis.


Djulijati Prambudi, pengajar Seni Rupa Universitas Negeri Surabaya, mengatakan, di Ende, Soekarno sangat produktif melukis. Pengasingan membuat jiwa melankolisnya muncul. Ia suka melukis tema-tema mooi indie, Indonesia yang jelita, dengan corak visual naturalistik.


Para misionaris banyak memberikan hadiah peralatan melukis kepada Soekarno. Karya lukisnya banyak, sebagian dihadiahkan kepada dokter yang mengobati sakit malarianya, juga kepada teman-temannya.


”Sayangnya, banyak lukisan Soekarno yang hilang entah ke mana. Sebagian jatuh dan hilang saat beliau naik kapal dari Ende ke Surabaya,” kata Djulijati (Kompas, 13 Mei 2015).


Karena itulah, merayakan kembali gagasan-gagasan Soekarno melalui seni rupa sangatlah tepat karena pada masa perjuangannya, Soekarno juga meluapkan kreativitasnya dengan berkesenian. Menggeluti seni pertunjukan ataupun seni lukis sudah menjadi aktivitasnya saat diasingkan di Ende dan Bengkulu.


Presiden pencinta seni


Kecintaan dan perhatian Soekarno pada seni dan kegemarannya mengoleksi karya-karya seni rupa secara tidak langsung (dan mungkin tidak disengaja) pada akhirnya membentuk basis data sejarah seni rupa Indonesia. Periode-periode penting seni rupa Indonesia bisa dibaca dari karya-karya koleksi Soekarno semasa menjabat sebagai Presiden RI (1945-1967).


Komitmen Soekarno pada seni rupa kembali diwujudkan pada saat pemerintahan Indonesia berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 1947. Tak tanggung-tanggung, para pelukis dan pematung yang awalnya tinggal di Jakarta turut diajak Soekarno bedol desa ke Yogyakarta bersama semua jajaran kabinet.


Keberpihakannya pada seni rupa benar-benar total. Soekarno bahkan mau meluangkan waktu untuk hadir dalam pameran-pameran seni rupa, mulai dari Pameran Sanggar Pelukis Rakyat, ASRI di Yogyakarta, pameran seni rupa seniman Institut Teknologi Bandung, pameran organisasi seni lukis Tionghoa Yin Hua pimpinan Lee Man Fong, hingga pergelaran-pergelaran seni rupa di Hotel Des Indes, Jakarta.


”Bagi Bung Karno, penciptaan seni sebaris dengan gelora revolusi sehingga harus berjalan seiring. Dalam banyak kesempatan, ia selalu menyambangi studio para pelukis. Ia juga mendorong terbentuknya studio yang menampung dan mempekerjakan para pelukis,” kata pengamat seni rupa Agus Dermawan T dalam bukunya berjudul Dari Lorong-lorong Istana Presiden, Menyimak Rupa Budaya Bangsa-Sejarah, Filosofi, Peristiwa, Opini terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (2019).


Mantan Kepala Biro Pengelolaan Istana Kepresidenan RI Adek Wahyuni Saptantinah, yang bekerja selama 33 tahun di Istana, mengatakan, sejak awal tidak ada daftar koleksi seni rupa Istana. Satu-satunya yang menjadi rujukan hanyalah buku koleksi lukisan Presiden Soekarno.


Tak hanya saat berjuang, perhatian Soekarno pada seni semakin menguat ketika ia menjabat sebagai Presiden pertama RI. Putra Presiden pertama RI sekaligus budayawan, Guruh Soekarnoputra, mengatakan, sekitar 90 persen benda seni rupa di Istana Presiden merupakan koleksi Soekarno.


Pada masa-masa akhir kepemimpinannya, Soekarno sekeluarga diminta pindah dari Istana. Mereka hanya membawa barang seadanya. ”Lukisan-lukisan dan buku-buku Pak Karno ditinggal di Istana,” ujarnya.


Karena itulah, tidak salah jika 78 perupa Yogyakarta merayakan gagasan dan pemikiran-pemikiran besar Soekarno dengan melukis bersama (semangat) Soekarno.

sumber : kompas.com

HUBUNGI KAMI

ALAMAT :

JL.TENTARA RAKYAT MATARAM 47,
BADRAN YOGYAKARTA

Email :

badiklatda.diy@gmail.com