TEATER ADALAH ALAT


KETIKA para pekerja seni tengah asyik  ngugemi sebuah keyakinan bahwa “kesenian adalah tontonan dan tuntunan”, jagat seni genre teater justru sudah melesat jauh ke depan. Para pekerja teater bukan  lagi berkutat dan stagnan pada “pertunjukan teater sebagai tontonan sekaligus tuntunan”. Mereka bahkan sudah menjadikan teater sebagai alat. Alat perjuangan, alat pemberdayaan, alat pengorganisasian, alat pembentukan karakter.

Kenapa bisa demikian? 
Para pekerja teater menyadari benar bahwa berkesenian (teater)  yang benar sesungguhnya harus melalui sebuah proses yang panjang. Proses berlatih atau belajar, proses bersinergi atau kerja sama dengan orang lain, proses mengenali alam, proses mendalami bidang seni yang lain. Karena jagat kesenian teater di dalamnya ada seni rupa (tata panggung, kostum, make up, special efek tata lampu), seni musik (vocal, illustrasi musik pertunjukan atau musik pengiring pertunjukan), seni sastra (naskah pertunjukan), seni tari (gesture, blooking, moving),  ilmu psikologi atau ilmu jiwa (karakter tokoh dalam naskah lakon) disamping juga wajib belajar manajemen pertunjukan dan manajemen berorganisasi.
Artinya, secara lebih spesifik para pekerja teater sebelum menggelar pementasan di panggung, mereka “wajib” menjalani proses latihan “olah vocal”, “olah tubuh”, “ekspresi”, “blooking atau komposisi” maupun pemusatan pikiran atau biasa disebut dengan  preposition. 

Pada proses latihan yang panjang dan mendalam ini diharapkan para pemain mampu mencapai titik capaian dengan apa yang disebut “bermain menjadi” bukan “bermain sebagai”. Atau bahasa kerennya bermain dengan iner acting atau orang Jawa biasa menyebut dengan “bermain nganggo rasa”. 

Nah, sampai di sini bisa dibayangkan kalau sebuah pertunjukan dari berbagai jenis genre  kesenian (tari, ketoprak, wayang orang, lenong dan kesenian lain yang berkaitan dengan memerankan tokoh atau memerankan karakter orang tertentu) ketika menggelar pertunjukannya tanpa melalui proses latihan yang panjang tersebut sudah bisa dipastikan pertunjukan tersebut sekadar penampilan “bermain sebagai” atau lebih ekstremnya tanpa penjiwaan (iner acting) alias ora nganggo rasa.  

Kembali pada persoalan, kenapa genre kesenian bernama teater bisa digunakan sebagai alat atau pembentukan karakter atau alat pemberdayaan atau alat pengorganisasian atau alat perjuangan. Jawabnya, pada proses latihan dasar teater atau latihan persiapan pementasan, orang-orang teater menggunakan metode preposition untuk membongkar, meluluhlantakkan sifat ego calon pemain, membawa si calon pemain pada posisi nol atau pada posisi jiwa kosong yang tak memiliki arti di kehidupan ini, menggiring si calon pemain pada posisi hidup sia-sia dan pada akhirnya ranah  afeksi si calon pemain di carger tergantung pada kebutuhan atau keinginan organisasi teater itu, misalnya dimunculkan sifat peduli, gotog royong, solidaritas, setia kawan, tanggung jawab atau sifat-sifat positif lainnya. Atau bahkan, bisa pula dimasukkan sifat-sifat buruk seperti, pembenci, pendendam, peneror dn lain-lain. Itulah hebatnya metode preposition yang biasa digunakan sebagai metode latihan dasar berteater oleh “calon aktor”.  

Proses Lebih Penting
Tentu tulisan ini bukan bermaksud mendiskreditkan genre kesenian lain dan mengunggulkan genre kesenian teater. Tulisan ini  sekadar mengabarkan bahwa jagat teater (modern) saat ini bukan sebatas memikirkan pada pertunjukan yang hendak digelar untuk penonton kemudian para penonton yang menonton pertunjukan itu mendapatkan hiburan  (tontonan) sekaligus ajaran (tuntunan) atau semacam dulce et utile yang ada di karya-karya sastra. 
Para pekerja teater, penggiat teater atau para aktifis teater selalu berfikir soal tontonan dan tuntunan sekaligus berfikir untuk membentuk karakter para pemainnya melalui latihan dasar-dasar berteater. 

Masih melekat diingatan kita bagaimana dulu Bung Karno ketika diasingkan di Ende NTT oleh Pemerintah Hindia Belanda, Bung Karno bukannya terpuruk menyesali perjuangannya, namun Bung Karno justru makin giat belajar dengan membaca buku-buku yang diselundupkan oleh Inggit  Ganarsih. Bung Karno juga melakukan pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat Ende melalui genre kesenian tonil (sandiwara) yang bernama Tonil Kelimutu.

Bung Karno main teater dan menuli naskah drama? Iya. Namun jangan salah, bukan hasil pertunjukan atau baik buruknya pementasan kelompok tonil itu yang harus kita cermati, tetapi bagaimana proses latihan sebuah grup kesenian bernama Tonil Kelimutu itu yang harus kita amati. Karena sudah bida dipastikan, proses latihan kelompok kesenian yang dipimpin Bung Karno itu adalah sebuah proses pemberdayaan kepada masyarakat tentang nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. 

Omong kosong apa bila ada menonton pertunjukan teater lantas karakternya akan berubah, sikapnya akan berubah, perilakunya akan berubah. Perubahan sikap, karakter dan perilaku penonton itu bisa terjadi bila itu dilakukan secara terus menerus, intens alias secara massive dan terstruktur. Omong kosong bila seseorang hanya sekali nonton pertunjukan teater kemudian ketika keluar dari gedung pertunjukan tiba-tiba mengalami perubahan perilaku, karakter dan sikap. Sebagaimana ketakutan rezim Orde Baru terhadap pertunjukan-pertunjukan drama atau pembacaan puisi di panggung sehingga naskah-naskah atau teks puisi yang akan ditampilkan harus disortir di kantor kepolisian. Sekali lagi omong kosong.

Perubahan karakter pada anggota teater atau calon pemain pertunjukan teater bisa dilihat di Teater Buruh-nya Wowok Hesti Prabowo. Wowok mampu membangun dan memberdayakan para buruh di Tangerang melalui kesenian bernama teater. Atau bisa dilihat di arsip kegiatan teater tahun 1990-an dimana sekelompok Pekerja Seks Komersial (PSK) di Parangkusumo dan Pasar Kembang (Sarkem) diorganisir oleh anak-anak Teater Kelompok Sastra Pendapa menggunakan alat kesenian bernama teater dan membentuk Teater Gumuk Pasir. 

Pengorganisiran dengan teater ini dimaksudkan agar para PSK menjadi sadar dan mampu menentukan pilihan untuk bekerja di sektor lain. Atau juga pemberdayaan para Pekerja Rumah Tangga (PRT) oleh Roempoen Tjoet Njak Dien (RTND) melalui media teater dengan tujuan agar para PRT (dari desa, berpendidikan rendah, miskin) lebih percaya diri, mampu berkomunikasi, mampu melakukan bargaining position dan berhasil mendesak Undang Undang Pekerja Rumah Tangga agar di sahkan oleh DPR. Dan banyak lagi.

Contoh paling dekat secara waktu adalah pemberdayaan yang dilakukan Dewan Teater Yogyakarta (DTY) kepada anak-anak usia TK, Sekolah Dasar dan SMP. DTY membentuk Teater Bocah Jogja (TBJ) untuk menampung anak-anak agar anak-anak lebih percaya diri, mampu menampilkan bakat yang dimilikinya tanpa rasa takut, membongkar sekat-sekat gangguan psikologis yang ada dalam hati dan pikiran anak-anak. 

Pada proses pendampingannya, TBJ lebih mengutamakan proses dari pada hasil. Artinya, proses latihan secara rutin lebih diutamakan karena proses itulah yang akan digunakan untuk membentuk karakter anak-anak. Soal hasil pementasan dari proses latihan rutin, bagi teman-teman TBJ adalah nomer buntut. Artinya, itu bukan menjadi bagian prioritas selama mereka berteater.

Pada akhirnya bakal muncul pertanyaan, pada saat berkesenian (teater) apakah kita tetap lebih asyik  memikirkan hasil pertunjukan atau proses? Lebih asyik disanjung-sanjung dan dipuja di media masa lantaran pertunjukan kita dinilai sangat baik, ditonton ribuan orang dan mendapat tepuk tangan yang membahana namun jiwa-jiwa para pemainnya sesungguhnya rapuh, nir karakter, ego, angkuh dan sejenisnya?
Barangkali sudah saatnya kita menyadari bahwa teater bukan lagi sebuah acara ritual pemujaan para dewa di jaman Yunani pada jaman dulu kala. Barangkali sudah saatnya kita menyadari bahwa teater bukan sebuah hiburan dipanggung yang sarat dengan pesan-pesan terselubung yang dibungkus dengan kata-kata “sandi” dan di warakan atau diwartakan yang kemudian kita kenal dengan nama “sandiwara”.

Teater adalah alat. Sebagaimana yang berkembang  saat ini jagat teater dunia. Barangkali wacana ini cukup menantang dan menarik untuk kita diskusikan.  Selamat menikmati tulisan ini (sambil makan kacang godog dan ketela rebus tentunya, agar kita tidak di cap sebagai gerombolan kapitalis dan anti kearifan lokal).*****


Wahyana Giri MC
Ketua Dewan Teater Yogyakarta 
Badiklatda DPD PDI Perjuangan DIY


HUBUNGI KAMI

ALAMAT :

JL.TENTARA RAKYAT MATARAM 47,
BADRAN YOGYAKARTA

Email :

badiklatda.diy@gmail.com