BADIKLATDA PDI PERJUANGAN DIY

PENDIDIKAN

Penanaman dan penyebarluasan ajaran Bung Karno serta pendalaman pemahaman terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.Pendidikan kaderisasi anggota partai secara berjenjang dan berkelanjutan

PELATIHAN

Membentuk kader partai yg berjiwa pelopor dan memiliki pemahaman, kemampuan menjabarkan dan melaksanakan ajaran Bung Karno dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

OPINI KADER

Kolom tulisan untuk para kader partai dengan gagasan dan pikiran sesuai ajaran Bung Karno dengan realitas keadaan sekarang dan yang akan datang

INFO

Informasi kegiatan atau pengumuman yang berkaitan dengan agenda partai maupun badan partai

Tampilkan postingan dengan label OPINI. Tampilkan semua postingan

TEATER ADALAH ALAT



KETIKA para pekerja seni tengah asyik  ngugemi sebuah keyakinan bahwa “kesenian adalah tontonan dan tuntunan”, jagat seni genre teater justru sudah melesat jauh ke depan. Para pekerja teater bukan  lagi berkutat dan stagnan pada “pertunjukan teater sebagai tontonan sekaligus tuntunan”. Mereka bahkan sudah menjadikan teater sebagai alat. Alat perjuangan, alat pemberdayaan, alat pengorganisasian, alat pembentukan karakter.

Kenapa bisa demikian? 
Para pekerja teater menyadari benar bahwa berkesenian (teater)  yang benar sesungguhnya harus melalui sebuah proses yang panjang. Proses berlatih atau belajar, proses bersinergi atau kerja sama dengan orang lain, proses mengenali alam, proses mendalami bidang seni yang lain. Karena jagat kesenian teater di dalamnya ada seni rupa (tata panggung, kostum, make up, special efek tata lampu), seni musik (vocal, illustrasi musik pertunjukan atau musik pengiring pertunjukan), seni sastra (naskah pertunjukan), seni tari (gesture, blooking, moving),  ilmu psikologi atau ilmu jiwa (karakter tokoh dalam naskah lakon) disamping juga wajib belajar manajemen pertunjukan dan manajemen berorganisasi.
Artinya, secara lebih spesifik para pekerja teater sebelum menggelar pementasan di panggung, mereka “wajib” menjalani proses latihan “olah vocal”, “olah tubuh”, “ekspresi”, “blooking atau komposisi” maupun pemusatan pikiran atau biasa disebut dengan  preposition. 

Pada proses latihan yang panjang dan mendalam ini diharapkan para pemain mampu mencapai titik capaian dengan apa yang disebut “bermain menjadi” bukan “bermain sebagai”. Atau bahasa kerennya bermain dengan iner acting atau orang Jawa biasa menyebut dengan “bermain nganggo rasa”. 

Nah, sampai di sini bisa dibayangkan kalau sebuah pertunjukan dari berbagai jenis genre  kesenian (tari, ketoprak, wayang orang, lenong dan kesenian lain yang berkaitan dengan memerankan tokoh atau memerankan karakter orang tertentu) ketika menggelar pertunjukannya tanpa melalui proses latihan yang panjang tersebut sudah bisa dipastikan pertunjukan tersebut sekadar penampilan “bermain sebagai” atau lebih ekstremnya tanpa penjiwaan (iner acting) alias ora nganggo rasa.  

Kembali pada persoalan, kenapa genre kesenian bernama teater bisa digunakan sebagai alat atau pembentukan karakter atau alat pemberdayaan atau alat pengorganisasian atau alat perjuangan. Jawabnya, pada proses latihan dasar teater atau latihan persiapan pementasan, orang-orang teater menggunakan metode preposition untuk membongkar, meluluhlantakkan sifat ego calon pemain, membawa si calon pemain pada posisi nol atau pada posisi jiwa kosong yang tak memiliki arti di kehidupan ini, menggiring si calon pemain pada posisi hidup sia-sia dan pada akhirnya ranah  afeksi si calon pemain di carger tergantung pada kebutuhan atau keinginan organisasi teater itu, misalnya dimunculkan sifat peduli, gotog royong, solidaritas, setia kawan, tanggung jawab atau sifat-sifat positif lainnya. Atau bahkan, bisa pula dimasukkan sifat-sifat buruk seperti, pembenci, pendendam, peneror dn lain-lain. Itulah hebatnya metode preposition yang biasa digunakan sebagai metode latihan dasar berteater oleh “calon aktor”.  

Proses Lebih Penting
Tentu tulisan ini bukan bermaksud mendiskreditkan genre kesenian lain dan mengunggulkan genre kesenian teater. Tulisan ini  sekadar mengabarkan bahwa jagat teater (modern) saat ini bukan sebatas memikirkan pada pertunjukan yang hendak digelar untuk penonton kemudian para penonton yang menonton pertunjukan itu mendapatkan hiburan  (tontonan) sekaligus ajaran (tuntunan) atau semacam dulce et utile yang ada di karya-karya sastra. 
Para pekerja teater, penggiat teater atau para aktifis teater selalu berfikir soal tontonan dan tuntunan sekaligus berfikir untuk membentuk karakter para pemainnya melalui latihan dasar-dasar berteater. 

Masih melekat diingatan kita bagaimana dulu Bung Karno ketika diasingkan di Ende NTT oleh Pemerintah Hindia Belanda, Bung Karno bukannya terpuruk menyesali perjuangannya, namun Bung Karno justru makin giat belajar dengan membaca buku-buku yang diselundupkan oleh Inggit  Ganarsih. Bung Karno juga melakukan pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat Ende melalui genre kesenian tonil (sandiwara) yang bernama Tonil Kelimutu.

Bung Karno main teater dan menuli naskah drama? Iya. Namun jangan salah, bukan hasil pertunjukan atau baik buruknya pementasan kelompok tonil itu yang harus kita cermati, tetapi bagaimana proses latihan sebuah grup kesenian bernama Tonil Kelimutu itu yang harus kita amati. Karena sudah bida dipastikan, proses latihan kelompok kesenian yang dipimpin Bung Karno itu adalah sebuah proses pemberdayaan kepada masyarakat tentang nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. 

Omong kosong apa bila ada menonton pertunjukan teater lantas karakternya akan berubah, sikapnya akan berubah, perilakunya akan berubah. Perubahan sikap, karakter dan perilaku penonton itu bisa terjadi bila itu dilakukan secara terus menerus, intens alias secara massive dan terstruktur. Omong kosong bila seseorang hanya sekali nonton pertunjukan teater kemudian ketika keluar dari gedung pertunjukan tiba-tiba mengalami perubahan perilaku, karakter dan sikap. Sebagaimana ketakutan rezim Orde Baru terhadap pertunjukan-pertunjukan drama atau pembacaan puisi di panggung sehingga naskah-naskah atau teks puisi yang akan ditampilkan harus disortir di kantor kepolisian. Sekali lagi omong kosong.

Perubahan karakter pada anggota teater atau calon pemain pertunjukan teater bisa dilihat di Teater Buruh-nya Wowok Hesti Prabowo. Wowok mampu membangun dan memberdayakan para buruh di Tangerang melalui kesenian bernama teater. Atau bisa dilihat di arsip kegiatan teater tahun 1990-an dimana sekelompok Pekerja Seks Komersial (PSK) di Parangkusumo dan Pasar Kembang (Sarkem) diorganisir oleh anak-anak Teater Kelompok Sastra Pendapa menggunakan alat kesenian bernama teater dan membentuk Teater Gumuk Pasir. 

Pengorganisiran dengan teater ini dimaksudkan agar para PSK menjadi sadar dan mampu menentukan pilihan untuk bekerja di sektor lain. Atau juga pemberdayaan para Pekerja Rumah Tangga (PRT) oleh Roempoen Tjoet Njak Dien (RTND) melalui media teater dengan tujuan agar para PRT (dari desa, berpendidikan rendah, miskin) lebih percaya diri, mampu berkomunikasi, mampu melakukan bargaining position dan berhasil mendesak Undang Undang Pekerja Rumah Tangga agar di sahkan oleh DPR. Dan banyak lagi.

Contoh paling dekat secara waktu adalah pemberdayaan yang dilakukan Dewan Teater Yogyakarta (DTY) kepada anak-anak usia TK, Sekolah Dasar dan SMP. DTY membentuk Teater Bocah Jogja (TBJ) untuk menampung anak-anak agar anak-anak lebih percaya diri, mampu menampilkan bakat yang dimilikinya tanpa rasa takut, membongkar sekat-sekat gangguan psikologis yang ada dalam hati dan pikiran anak-anak. 

Pada proses pendampingannya, TBJ lebih mengutamakan proses dari pada hasil. Artinya, proses latihan secara rutin lebih diutamakan karena proses itulah yang akan digunakan untuk membentuk karakter anak-anak. Soal hasil pementasan dari proses latihan rutin, bagi teman-teman TBJ adalah nomer buntut. Artinya, itu bukan menjadi bagian prioritas selama mereka berteater.

Pada akhirnya bakal muncul pertanyaan, pada saat berkesenian (teater) apakah kita tetap lebih asyik  memikirkan hasil pertunjukan atau proses? Lebih asyik disanjung-sanjung dan dipuja di media masa lantaran pertunjukan kita dinilai sangat baik, ditonton ribuan orang dan mendapat tepuk tangan yang membahana namun jiwa-jiwa para pemainnya sesungguhnya rapuh, nir karakter, ego, angkuh dan sejenisnya?
Barangkali sudah saatnya kita menyadari bahwa teater bukan lagi sebuah acara ritual pemujaan para dewa di jaman Yunani pada jaman dulu kala. Barangkali sudah saatnya kita menyadari bahwa teater bukan sebuah hiburan dipanggung yang sarat dengan pesan-pesan terselubung yang dibungkus dengan kata-kata “sandi” dan di warakan atau diwartakan yang kemudian kita kenal dengan nama “sandiwara”.

Teater adalah alat. Sebagaimana yang berkembang  saat ini jagat teater dunia. Barangkali wacana ini cukup menantang dan menarik untuk kita diskusikan.  Selamat menikmati tulisan ini (sambil makan kacang godog dan ketela rebus tentunya, agar kita tidak di cap sebagai gerombolan kapitalis dan anti kearifan lokal).*****


Wahyana Giri MC
Ketua Dewan Teater Yogyakarta 
Badiklatda DPD PDI Perjuangan DIY


KADER SEBAGAI TENAGA PENGGERAK

 

Oleh Uldan Tajri


“Untuk bisa bekerja efektif, Ideologi membutuhkan kader, Ideologi membutuhkan pemimpin, Ideologi membutuhkan aturan bermain, Ideologi membutuhkan kebijakan, Ideologi membutuhkan Program yang merakyat, Ideologi membutuhkan sumber daya”

( Megawati Soekarnoputri Pidato Pembukaan Kongres III PDI Perjuangan 2010)



Salah satu ungkapan Bung Karno mengenai kekuasan (politik) bahwa selama rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas negerinya sendiri, maka sebagian atau semua syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi maupun sosial maupun politik diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan bertentangan dengan kepentingannya. Kondisi ini tentu saja bukan sekedar ungkapan akan tetapi sebagai pengingat terhadap individu-individu yang beraktivitas dan memainkan peran dalam arena politik. Politik tidak lain merupakan satu ruang dalam kehidupan sosial yang berkaitan dengan proses untuk menentukan dan mengambil keputusan serta melaksanakan keputusan-keputusan. 


Salah satu wadah sebagai tempat para individu-individu melakukan pengabilan-pengambilan keputusan yang memainkan peran kunci yakni partai politik. Sebagai organisasi politik, partai selalu di identikan dengan ideologi atau paham yang di amini dan kemudian menjadi tindakan kongkret partai politik itu sendiri. Partai politik sebagai organisasi mengadaikan adanya individu-individu yang tidak hanya menerima peranan yang ada namun bisa juga melakukan perubahan yang baru serta tanggap terhadap situasi yang ada diluar dirinya sesuai dengan paham yang di yakini.

 

Individu-individu inilah yang kemudian menjadi penggerak perubahan terutama dalam partai politik. Tanpa itu partai hanyalah organisasi yang mati dan perubahan tidak akan pernah terjadi. Kesadaran ini seharusnya menjadi kesadaran bersama setiap individu (kader) partai yang bergulat di ruang politik. Kader secara sederhana bisa diterjemahkan yakni individu-individu yang memiliki kemapuan untuk mengkombinasikan ideologi dengan organisasi, teori dan praktek dalam pengorganisiran masyarakat untuk menuju perubahan. Kerja ideologis mengadaikan bahwa setiap kader penggerak memiliki kemapuan membaca konteks atau keadaan baik secara kultural maupun struktural, sehingga mampu memanfaatkan dan memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki partai demi terwujudnya perubahan, sehingga politik sebagai tindakan tidak terjebak dalam pola-pola pragmatis. 


Sehingga mimpi memiliki kader dengan kualitas baru; kader yang mampu merubah diri; kader yang melengkapi diri dengan senjata ideologi, kesadaran politik yang tinggi, dan ketrampilan organisasi yang baik, serta komitmen yang terjaga terutama untuk bekerja di tengah massa; kader yang dapat dengan jernih membedakan antara kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan jangka panjang, untuk memperkuat basis dan memperhebat kerja-kerja partai di tengah rakyat. 

*) Penulis merupakan Kepala Bidang Ideologi Dan Stategis BADIKLATDA PDI Perjuangan DIY

SEWINDU KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA, SEBUAH REFLEKSI

 


Oleh Susanto SBR


Jogja ...Jogja... Tetap Istimewa......

Istimewa negerinya, istimewa orangnya...

Jogja ...Jogja... Tetap Istimewa......

Jogja istimewa, untuk Indonesia


Bait lirik lagu hiphop besutan Kill The Dj ini seakan masih terngiang ditelinga masyarakat jogja. Lagu yang menjadi themesong perjuangan keistimewaan DIY ini menjadi viral dan mampu menyatukan harapan warga yogyakarta saat polemik pembahasan UU Keistimewaan DIY delapan tahun yang lalu.


Tanggal 31 Agustus kini menjadi tanggal yang bersejarah bagi warga Yogyakarta. Pasalnya pada tanggal tersebut tertancap tonggak sejarah baru bagi Keistimewaan Yogyakarta. Setelah melalui pergumulan yang panjang dan gegap gempita masyarakat Yogyakarta akhrnya  pada tanggal 31 Agustus 2012 ditetapkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta 


Dan kini di tahun 2021, sewindu  lebih perjalanan Keistimewaan Yogyakarta penuh dengan dinamika dan diskursus yang bersifat evaluatif. Delapan tahun adalah waktu yang cukup untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan UUK DIY agar tetap berjalan diatas rel harapan awal masyarakat Yogyakarta pada perjuangan mengawal keistimewaan.


Saat menyampaikan Sapa Aruh tanggal 31 Agustus 2020 lalu, Sri Sultan mengungkapkan bahwa Pengesahan UUK DIY bersumber dari peristiwa bersejarah di mana dua kerajaan merdeka memandatkan diri bergabung dengan NKRI yang masih muda. Peristiwa itu juga dapat dimaknai pergeseran peradaban monarki ke demokrasi.


Dalam kesempatan tersebut, Ngarsa Dalem juga mengungkapkan bahwa sewindu keistimewaan ini merupakan momentum bagi warga DIY untuk berefleksi dan introspeksi secara kritis, aktif dan berkelanjutan. 


Tujuannya agar kita semua mampu menemukan ide-ide inovatif, transformatif dan memiliki perspektif peradaban ke masa depan dengan tujuan utama yaitu kesejahteraan segenap rakyat DIY yang gradasinya semakin meningkat secara berkelanjutan.


Gradasi kesejahteraan yang dimaksud Ngarsa Dalam kemungkinan berasal dari index gini ratio DIY yang menurut BPS pada bulan maret 2020 mencapai angka 0,434 meningkat dari posisi september 2019 yaitu pada angka 0,428. Dengan angka tersebut, gini ratio DIY berada pada posisi tertinggi pada tahun 2020 dibanding provinsi yang lain di Indonesia.

Akibat ranking gini ratio tertinggi ini, banyak kritik warga yang disampaikan secara langsung maupun melalui media terutama media sosial. Artinya bahwa dengan berjalannya Keistimewaan DIY yang berkonsekuensi mengalirnya tambahan anggaran berupa Dana Keistimewaan belumlah mendongkrak perekonomian warga, dan justru meningkatkan angka ketimpangan tersebut.


Pihak Pemerintah DIY pun juga terbuka terhadap kritik tersebut ditandai dengan isi sambutan Sri Sultan yang mengharapkan adanya proses reflektif yang konstruktif dari semua pihak khususnya aparatur pemerintah daerah.


Dengan signal kuat dari Ngarsa Dalem yang membuka diri akan kritik dan masukan tersebut, maka harapannya hal ini disambut baik oleh seluruh komponen masyarakat Yogyakarta untuk memberikan ide dan gagasan yang transformatif untuk meningkatkan efektifitas Dana Keistimewaan agar kesehateraan masyarakat Yogyakarta semakin meningkat dan mengurangi jurang ketimpangan sosial ekonomi.


Sebagai perwujudan slogan “holopis kuntul baris” sepatutnya kita warga yogyakarta untuk memberikan kontribusi apapun sesuai dengan kompetensi masing-masing guna memberi warna bagi Keistimewaan Yogyakarta agar lebih efektif meningkatkan kesejahteraan rakyat Yogyakarta tanpa meninggalkan upaya pelestarian sejarah dan budaya Yogyakarta.


*tulisan ini pernah dipublikasikan di kompasiana.com dg beberapa perbaikan redaksional oleh penulis

** Penulis adalah Wakil Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi/Kepala Badiklatda PDI Perjuangan DIY

HUBUNGI KAMI

ALAMAT :

JL.TENTARA RAKYAT MATARAM 47,
BADRAN YOGYAKARTA

Email :

badiklatda.diy@gmail.com